Sabtu, 21 Mei 2011

Allahu Akbar.. Adakah sifat ini di hatimu..??

Suatu ketika, Abdullah bin Mas’ud keluar ke pasar dan menaruh uang pada lipatan sorbannya. Lalu duduk pada seorang penjual dan membeli makanan darinya. Ketika ia mengangkat tangan untuk mengambil uangnya, ia mendapati uang tersebut telah lenyap. Lalu dia berkata: “Demi Allah! Ketika saya duduk tadi, uang itu ada bersama saya. Tapi sekarang tak ada sama sekali.”

Abdullah bin Mas’ud sangat heran dan kaget. Lalu sebagaimana kebiasaan yang ada pada kita, orang-orang pun berkumpul di sekelilingnya untuk menolong. Memberi simpati dan menghiburnya atas kejadian yang baru saja menimpa. Orang-orang itu mulai mendoakan sang pencuri:” Ya Allah ! Potonglah tangan pencuri yang telah mengambil uangnya!” “ Ya Allah! Hukumlah ia seberat-beratnya.” Dan lain sebagainya. Yang jelas, semua orang yang ada disitu duduk sebentar untuk mendoakan jelek kepada sang pencuri.

Adapun Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu, maka beliau hanya berujar: “Ya Allah! Jika dia mengambil uang saya karena sangat membutuhkannya maka berkahilah ia padanya. Tetapi jika dia melakukan itu karena semata-mata berbuat dosa (tanpa alasan apapun), maka jadikanlah perbuatan ini sebagai dosa terakhir atasnya".
(lihat; Mau'idzah al-Mukminin min Ihya' 'Ulumid Dien, I/321. Lihat pula: Hukmul Ayyam, I/138)

Selesai!! Itu saja. Tak ada doa agar sang pencuri dipotong tangannya, dilaknati Allah Ta'ala, dilumpuhkan anggota-anggota tubuhnya, dibutakan mata, dihilangkan telinganya, atau didoakan agar mengharap kematian tapi kemudian kematian itu tak datang-datang, atau agar darahnya dibekukan dan lain sebagainya. Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu sama sekali tak melantunkan doa-doa seperti itu. Justru ia mendoakan kebaikan bagi sang pencuri, bukan mendoakan keburukan atasnya.

Wahai saudara sekalian…Seandainya anda keluar kemudian bertemu seseorang yang tak pernah menjaga hak-hak anda dan tak pernah menghormati anda. Kemudian dia mengucapkan perkataan kotor, mencaci, dan memperdengarkan kepada anda sesuatu yang sangat anda benci. Tindakan apa yang akan anda lakukan?! Anda membalasnya dengan hal yang serupa?! Membalas dendam atau berubah menjadi musuh baginya?

Wahai saudara sekalian…Para pemilik jiwa yang besar, pada situasi-situasi seperti ini akan selalu mengingat firman Allah Ta'ala, "Tolaklah kejahatan itu dengan sesuatu yang paling baik”. (QS. Fushshilat:34).

Idfa’ billati hiya ahsan”  inilah yang menjadi syi’ar atau semboyan mereka...
kita mencontoh yuuk..???

Senin, 16 Mei 2011

...Hukum Menyingkat Salaam dan Sholawat...

Banyak saudara kita yang menulis ucapan salam, ucapan sholawat dan asma Allah dengan singkatan, baik itu di commet-commet, di sms, dll. Kita tahu bahwa menulis tidaklah beda dengan kita berbicara kepada orang lain, yang mana disitu ada malaikat yang senantiasa mencatat perbuatan tersebut.

Sekecil apapun perbuatan itu pasti ada nilainya disisi Allah, dan sesungguhnya amal ibadah seseorang itu tergantung dari keikhlasan masing-masing individu, kalaulah kita hendak bersholawat, hendaknya menuliskannya dengan lengkap (tidak dengan menyingkatnya), sebagai bukti keikhlasan kita dalam mengamalkannya.

insya Allah dengan membiasakan ini amalan kita akan menjadi sempurna, Inilah adab kepada Allah dan Rasul-Nya yang harus kita perhatikan. Berikut adalah fatwa-fatwa ulama seputar masalah penyingkatan kata:

Fatwa Syaikh Wasiyullah Abbas (Ulama Masjidil Haram, pengajar di Ummul Qura)

Soal:
Banyak orang yang menulis salam dengan menyingkatnya, seperti dalam Bahasa Arab mereka menyingkatnya dengan wrwb islam Fatwa Larangan Penyingkatan Salam dan Shalawat Dalam bahasa Inggris mereka menyingkatnya dengan “ws wr wb” (dan dalam bahasa Indonesia sering dengan “ass wr wb” – pent). Apa hukum masalah ini?

Jawab:
Tidak boleh untuk menyingkat salam secara umum dalam tulisan, sebagaimana tidak boleh pula meningkat shalawat dan salam atas Nabi kita shallallahu ‘alaihi wasallam. Tidak boleh pula menyingkat yang selain ini dalam pembicaraan.

Diterjemahkan dari www.bakkah.net
Fatwa Lajnah Ad-Daimah (Dewan Fatwa Kerajaan Saudi Arabia)

Soal:
Bolehkah menulis huruf SAW yang maksudnya shalawat (ucapan shallallahu ‘alaihi wasallam). Dan apa alasannya?

Jawab:
Yang disunnahkan adalah menulisnya secara lengkap –shallallahu ‘alaihi wasallam- karena ini merupakan doa. Doa adalah bentuk ibadah, begitu juga mengucapkan kalimat shalawat ini.

Penyingkatan terhadap shalawat dengan menggunakan huruf shad atau penyingkatan Salam dan Shalawat (seperti SAW, penyingkatan dalam Bahasa Indonesia -pent) tidaklah termasuk doa dan bukanlah ibadah, baik ini diucapkan maupun ditulis. Dan juga karena penyingkatan yang demikian tidaklah pernah dilakukan oleh tiga generasi awal Islam yang keutamaannya dipersaksikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Wabillahit taufiq, dan semoga shalawat dan salam tercurah kepada Nabi kita Muhammad, keluarga serta para sahabat beliau.

Dewan Tetap untuk Penelitian Islam dan Fatwa

Ketua: Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Ibn Abdullaah Ibn Baaz;
Anggota: Syaikh ‘Abdur-Razzaaq ‘Afifi;
Anggota: Syaikh ‘Abdullaah Ibn Ghudayyaan;
Anggota: Syaikh ‘Abdullaah Ibn Qu’ood

(Fataawa al-Lajnah ad-Daa.imah lil-Buhooth al-’Ilmiyyah wal-Iftaa., - Volume 12, Halaman 208, Pertanyaan ke-3 dariFatwa No.5069)

Diterjemahkan dari http://fatwa-online.com/fataawa/miscellaneous/enjoiningthegood/0020919.htm

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Apa keutamaan bershalawat untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam? Bolehkah kita menyingkat ucapan shalawat tersebut dalam penulisan, misalnya kita tulis Muhammad SAW dengan maksud singkatan dari salallahu 'alaihi wassalam ?

Jawab:
Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz menjawab:

“Mengucapkan shalawat untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam merupakan perkara yang disyariatkan. Di dalamnya terdapat faedah yang banyak. Di antaranya menjalankan perintah Allah, menyepakati Allah Subhanallahu Wa ta’ala dan para malaikat-Nya yang juga bershalawat untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Allah berfirman:

“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah untuk Nabi dan ucapkanlah salam kepadanya.” (Al-Ahzab: 56)

Faedah lainnya adalah melipat gandakan pahala orang yang bershalawat tersebut, adanya harapan doanya terkabul, dan bershalawat merupakan sebab diperolehnya berkah dan langgengnya kecintaan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam. Sebagaimana bershalawat menjadi sebab seorang hamba beroleh hidayah dan hidup hatinya. Semakin banyak seseorang bershalawat kepada beliau shallallahu ‘alaihi wasallam dan mengingat beliu, akan semakin kental pula kecintaan kepada beliau di dalam hati. Sehingga tidak tersisa di hatinya penentangan terhadap sesuatu pun dari perintahnya dan tidak pula keraguan terhadap apa yang beliau sampaikan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri telah memberikan anjuran untuk mengucapkan shalawat atas beliau dalam beberapa hadits. Di antaranya hadits yang diriwayatkan Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya dari Abu Hurairah Radhiallahuanhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Siapa yang bershalawat untukku satu kali maka Allah akan bershalawat untuknya sepuluh kali.”

Dari hadits Abu Hurairah radhiallahu anhu juga, disebutkan bahwa Rasululah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Janganlah kalian menjadikan rumah-rumah kalian seperti kuburan (Dengan tidak dikerjakan shalat sunnah di dalamnya, demikian pula Al-Qur’an tidak dibaca di dalamnya. (-pent.)) dan jangan kalian jadikan kuburanku sebagai id (tempat kumpul-kumpul -pent). Bershalawatlah untukku karena shalawat kalian sampai kepadaku di mana pun kalian berada.” [Diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad dan Abu Dawud, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Abi Dawud]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah pula bersabda:

“Terhinalah seorang yang aku (namaku) disebut disisinya namun ia tidak mau bershalawat untukku.” [HR. At-Tirmidzi, kata Asy-Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahihul Musnad Mimma Laisa fish Shahihain, “Hadits hasan gharib.”]

Bershalawat untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam disyariatkan dalam tasyahhud shalat, dalam khutbah, saat berdoa serta beristighfar. Demikian pula setelah adzan, ketika keluar serta masuk masjid, ketika mendengar nama beliau disebut, dan sebagainya.

Perkaranya lebih ditekankan ketika menulis nama beliau dalam kitab, karya tulis, risalah, makalah, atau yang semisalnya berdasarkan dalil yang telah lewat. Ucapan shalawat ini disyariatkan untuk ditulis secara lengkap/sempurna dalam rangka menjalankan perintah Allah Aza Wajallah kepada kita dan agar pembaca mengingat untuk bershalawat ketika melewati tulisan shalawat tersebut. Tidak sepantasnya lafazh shalawat tersebut ditulis dengan singkatan misalnya shad1 islam Fatwa Larangan Penyingkatan Salam dan Shalawat atau slm1 islam Fatwa Larangan Penyingkatan Salam dan Shalawat ataupun singkatan-singkatan yang serupa dengannya, yang terkadang digunakan oleh sebagian penulis dan penyusun. Hal ini jelas menyelisihi perintah Allah Aza Wajallah dalam firman-Nya:

“… bershalawatlah untuk Nabi dan ucapkanlah salam kepadanya.”

Dan juga dengan menyingkat tulisan shalawat tidak akan sempurna maksudnya serta tidak diperoleh keutamaan sebagaimana bila menuliskannya secara sempurna. Terkadang pembaca tidak perhatian dengan singkatan tersebut atau tidak paham maksudnya.

Menyingkat lafazh shalawat ini dibenci oleh para ulama dan mereka memberikan peringatan akan hal ini.

Ibnu Shalah
Ibnu Shalah dalam kitabnya ‘Ulumul Hadits yang lebih dikenal dengan Muqqadimah Ibnish Shalah mengatakan, “(Seorang yang belajar hadits ataupun ahlul hadits) hendaknya memerhatikan penulisan shalawat dan salam untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bila melewatinya. Janganlah ia bosan menulisnya secara lengkap ketika berulang menyebut Rasulullah.”

Ibnu Shalah juga berkata, “Hendaklah ia menjauhi dua kekurangan dalam penyebutan shalawat tersebut:

Pertama, ia menuliskan lafazh shalawat dengan kurang, hanya meringkasnya dalam dua huruf atau semisalnya.

Kedua, ia menuliskannya dengan makna yang kurang, misalnya ia tidak menuliskan wassalam islam Fatwa Larangan Penyingkatan Salam dan Shalawat

Al-‘Allamah As-Sakhawi
Al-‘Allamah As-Sakhawi dalam kitabnya Fathul Mughits Syarhu Alfiyatil Hadits lil ‘Iraqi, menyatakan, “Jauhilah wahai penulis, menuliskan shalawat dengan singkatan, dengan engkau menyingkatnya menjadi dua huruf dan semisalnya, sehingga bentuknya kurang. Sebagaimana hal ini dilakukan oleh orang jahil dari kalangan ajam (non Arab) secara umum dan penuntut ilmu yang awam. Mereka singkat lafazh shalawat dengan saw dan shad, Karena penulisannya kurang, berarti pahalanya pun kurang, berbeda dengan orang yang menuliskannya secara lengkap.

As-Suyuthi
As-Suyuthi berkata dalam kitabnya Tadribur Rawi fi Syarhi Taqrib An-Nawawi, mengatakan, “Dibenci menyingkat shalawat dan salam dalam penulisan, baik dengan satu atau dua huruf seperti menulisnya dengan slm3, bahkan semestinya ditulis secara lengkap.”

Inilah wasiat saya kepada setiap muslim dan pembaca juga penulis, agar mereka mencari yang utama atau afdhal, mencari yang di dalamnya ada tambahan pahala dan ganjaran, serta menjauhi perkara yang dapat membatalkan atau menguranginya.”

(Diringkas dari fatwa Asy-Syaikh Ibn Baz yang dimuat dalam Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, 2/396-399)

Sumber: Majalah Asy Syari’ah, Vol. III/No. 36/1428 H/2007, Kategori Fatawa Al-Mar’ah Al-Muslimah, Hal. 89-91.

Sumber rujukan:
http://bakkah.net/interactive/q&a/aawa004.htm
http://bakkah.net/articles/SAWS.htm
http://fatwa-online.com/fataawa/miscellaneous/enjoiningthegood/0020919.htm
http://rosyidi.com/fatwa-larangan-penyingkatan-salam-dan-shalawat/

Kesimpulan:
Kita tidak boleh menyingkat salam dengan cara apapun, misalnya "assalaamu'alaykum wr.Wb.", menyingkat sholawat seperti SAW atau menyingkat lafadz dengan SWT. Alasannya seperti yang telah dijelaskan oleh ulama-ulama diatas karena didalamnya ada bentuk do'a dan pengagungan kepada Allah yang telah disyari'atkan, Misal ada orang menyingkat "Allah SWT" berarti dia telah menyelisihi bentuk pengagungan yang telah di syari'atkan, hendaknya dia menulis "Allah Subhanallahu wa ta'ala". Ada juga yang menuliskan ALLAH dengan huruf "4JJ1", tidak boleh kita menulis seperti ini karena "4JJ1" telah diselewengkan maknanya menjadi "For Judas Jesus Isa Al-Masih". Maha suci Allah dari ucapan seperti ini.

Firman Allah subhannallahuwa ta'ala (yang artinya):
"Dan apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungkan segala sesuatu." (An Nisaa': 86).

Berikut ucapan salam dan keutamaannya yang telah dicontohkan oleh
Rasulullah shallallahu 'alaihi wassalam:


“Telah datang seorang lelaki kepada Nabi shallallahu 'alaihi wassalam dan berkata, ‘Assalamualaikum’. Maka Rasulullah menjawab salam kemudian dia duduk. Maka Rasulullah berkata sepuluh pahala kemudian datang yang lain memberi salam dengan berkata ‘Assalamualaikum warahmatullah’, lalu Rasulullah menjawab salam tadi, dan berkata dua puluh pahala. Kemudian datang yang ketiga terus berkata ‘Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh’. Rasulullah pun menjawab salam tadi dan terus duduk, maka Rasulullah berkata tiga puluh pahala. (Hadits Hasan :Riwayat Abu Daud Tarmizi)

Semoga bermanfaat, Wallahu Ta'ala a'lam

...Mendulang Pahala di Pagi Buta...

Di pagi buta, seseorang terkadang mendapatkan “basah” pada sarung atau pakaiannya sehingga ada diantara kita merasa pusing, apa yang harus dilakukan? Ada diantara kita yang tidak paham kalau dirinya harus mandi saat itu agar ia dapat “Mendulang Pahala di Pagi Buta”.
Seorang manusia yang sempurna, mesti mengalami perkara-perkara yang mengharuskan dirinya untuk “mandi wajib”, yaitu mandi janabah atau junub. Dari sisi lain, ada sebagian kaum muslimin yang tidak mengetahui mandi wajib. Sehingga ada diantara mereka sudah dewasa belum tahu caranya. Ada juga yang sudah beranak-pinak, bahkan sudah hampir masuk ke liang lahat, namun belum tahu mandi junub. Ada lagi diantara mereka yang nanti mau tahu dan belajar tentang hal tersebut ketika diambang pintu nikah. Tapi ini masih mending daripada yang sebelumnya.
Oleh karena itu, setiap muslim harus mengilmuinya, sebab itu adalah amanah dari Allah atas para hamba-hanba-Nya yang muslim.
Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan-hafizhohullah- berkata dalam Al-MulakhkhosAl-Fiqhiy (hal 58), “Bersuci dari hadats besar merupakan salah satu amanah diantara amanah-amanah antara hamba dengan Rabbnya wajib baginya untuk menjaganya, memperhatikan hukumnya, agar ia mampu melaksanakannya berdasarkan cara yang disyariatkan. sesuatu yang bermasalah baginya diantara hukumnya dan konsekuensinya, maka dia ditanyakan. Janganlah perasaan malu menghalangi dirinya dari hal itu, karena Allah tidak malu dari kebenaran. Jadi, malu yang menghalangi bagi pemiliknya dari bertanya tentang urusan agamanya merupakan malu yang tercela. Itu sebenarnya sifat pengecut dari setan agar dia bisa merintangi manusia untuk menyempurnakan agamanya, dan mengenal hukum-hukum yang wajib baginya. Perkara bersuci merupakan perkara yang amat agung dan dia amat penting, karena terakibatkan sahnya sholat yang merupakan tiang agama”.
Beberapa Perkara yang Mengharuskan Mandi Junub
Perkara-perkara yang mengharuskan seseorang mandi junub alias mandi wajib telah dijelaskan oleh para ulama kita dalam kitab-kitab mereka. Seorang muslim harus mengetahui perkara-perkara yang mengharuskan dan menyebabkan seseorang mandi junub, karena boleh jadi ia akan mengalaminya, atau orang lain sehingga ia pun bisa mengamalkan sunnah Nabi -Shollallahu alaihi wa sallam- dalam hal in, dan menuntun sesamanya. Diantara perkara-perkara yang mengharuskan kita mandi junub alias mandi wajib:
  •  
    • Keluarnya Mani Ketika Tidur atau Sadar
Jika seseorang usai tidur, lalu ia mendapatkan air mani pada pakaiannya atau pada dirinya, maka ia harus melakukan mandi junub, sekalipun ia tidak merasakan kelezatan syahwat. Ummu Salamah -radhiyallahu ‘anhu- pernah bertanya kepada Nabi -Shollallahu alaihi wa sallam-, “Wahai Rasulullah, Sesungguhnya Allah tak malu karena kebenaran. Apakah wajib bagi seorang wanita untuk mandi junub, bila ia mimpi basah?” Beliau bersabda,
نعم إذا رأت الماء
“Ya, (harus mandi) jika ia melihat (mendapatkan) air mani”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (130), Muslim dalam Shohih-nya (313), dan At-Tirmidziy dalam As-Sunan (122)]
Adapun jika dalam kondisi terjaga (tak tidur), maka dipersyaratkan adanya kelezatan syahwat yang dirasakan oleh seseorang, entah karena berjimak, bermain onani (suatu perbuatan haram, seorang mengeluarkan mani dengan menyentuh kemaluannya sampai mengeluarkan mani), atau karena sebab lain yang menyebakan syahwatnya memuncak, dan dirinya mengeluarkan mani.
Nabi -Shollallahu alaihi wa sallam- bersabda,
إذا حذفت الماء فاغتسل من الجنابة. فإذا لم تكن حاذفا فلا تغتسل
“Jika engkau menyemburkan (memancarkan) air mani, maka mandi junublah. Jika tidak menyemburkannya, maka jangan mandi”. [HR. Ahmad dalam Al-Musnad (1/107/no.847), dan dikuatkan oleh Al-Albaniy dalam Irwa’ Al-Gholil (1/162)]
Asy-Syaukaniy -rahimahullah- berkata dalam Nail Al-Author (1/275) ketika mengomentari hadits ini, “Menyemburkan adalah memancarkan. Ini tidak akan terjadi seperti, kecuali dengan syahwat. Oleh karena ini, Penulis berkata, “Dalam hadits ini terdapat peringatan bahwa sesuatu yang keluar, tanpa syahwat, entah karena sakit, atau dingin, maka hal itu tidak mengharuskan mandi”.”.
Seorang mimpi berjimak, namun saat terbangun ia tak mendapatkan air mani pada dirinya, maka tak wajib mandi. Nabi -Shollallahu alaihi wa sallam- pernah ditanya tentang hal tersebut, maka beliau -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda, “Tak (kewajiban) mandi atasnya”. [HR. Abu Dawud dalam As-Sunan (233), dan At-Tirmidziy dalam As-Sunan (113). Di-shohih-kan Al-Albaniy dalam Shohih Sunan Abi Dawud (233)]
  •  
    • Berjimak Walaupun tidak Mengeluarkan Mani
Jika seseorang berjimak dengan istrinya (maksudnya, ia memasukkan kemaluannya pada lubang peranakan istrinya), namun ia atau istrinya tidak mengeluarkan mani, maka dalam kondisi seperti ini seseorang harus mandi, walaupun ia tak mengeluarkan mani. Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
إذا جلس بين شعبها الأربع ثم جهدها فقد وجب عليه الغسل وإن لم ينزل  
“Jika ia (suami) telah duduk diantara empat anggota tubuhnya (yaitu, kedua tangan, dan kedua kaki,pen), lalu ia menggaulinya, maka wajib baginya mandi, sekalipun ia tidak mengeluarkan mani” [HR. Muslim dalam Shohih -nya (354)]
  •  
    • Islamnya Seorang Kafir
Jika seorang masuk ke dalam Islam, maka diwajibkan bagi dirinya untuk mandi wajib sebagaimana yang dijelaskan dalam beberapa hadits dari Nabi -Shollallahu alaihi wa sallam- . Ini perlu diketahui karena terkadang seorang kafir masuk ke dalam Islam, namun tak ada seorang muslim pun yang tahu kalau mandi bagi si kafir tersebut wajib baginya saat ia sudah usai ber-syahadat. Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- ,
عن قيس بن عاصم أنه أسلم فأمره النبي صلى الله عليه وسلم أن يغتسل بماء وسدر  
“Dari Qois bin ‘Ashim bahwa ia telah masuk Islam, lalu ia diperintahkan oleh Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- untuk mandi dengan air dan daun bidara”. [HR. Abu Dawud (351), At-Tirmidziy (602), dan An-Nasa’iy (1/109), dan di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Al-Irwa’ (128)]
  •  
    • Terputusnya Haidh, dan Darah Nifas
Seorang wanita yang usai mengalami haidh, dan masa nifas dengan terhentinya darah yang keluar darinya, maka ia diwajibkan mandi junub agar ia selanjutnya bisa melaksanakan sholat, dan berhubungan dengan suaminya. Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
فإذا أقبلت الحيضة فدعي الصلاة وإذا أدبرت فاغسلي عنك الدم وصلي
“Jika masa haidh datang, maka tinggalkan sholat. Jika telah pergi (usai), maka cucilah darah yang ada pada dirimu, dan sholatlah”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (320), dan Muslim dalam Shohih-nya (333)]
Sunnah Rasulullah ketika mandi junub
Bila seseorang ingin dapat mendulang pahala di pagi buta saat dia mandi junub, maka hendaknya dia mengikuti sunnah Nabi -Shollallahu alaihi wa sallam- pada saat itu.
Abu Muhammad Ibnu Qudamah Al-Maqdisiy-rahimahullah- berkata, “mandi junub memiliki bentuk-bentuk yang mencukupi dan bentuk sempurna. Yang disebutkan Al Khiroqi disini adalah bentuk yang sempurna, sebagian shahabat kami berkata, bentuk yang sempurna datang (disebutkan) di dalamnya sepuluh perkara: niat, membaca bismillah, mencuci kedua tangan dua kali, mencuci sesuatu yang terkena gangguan (mani), berwudhu, menciduk air (dengan telapak) keatas kepala sebanyak dua kali sehinnga bisa membasahi pangkal rambut, mengalirkan air keseluruh badan, memulai dengan bagian kanan badan. Menggosok badan dengan tangan, berpindah dari tempat mandinya, lalu mencuci kaki, dan dianjurkan untuk menyela-nyelai pangkal rambut kepala, dan jenggotnya dengan air sebelum mengalirkan air ke badan”. [Lihat Al-Mughni (1/287)].
Sepuluh perkara yang disebutkan para ulama tadi merupakan inti sari faedah yang terambil dari hadits-hadits berikut:
A’isyah –radhiyallahu ta’ala anha- berkata,
إذا اغتسل من الجنابة يبدأ فيغسل يديه ثم يفرغ بيمينه على شماله فيغسل فرجه ثم يتوضأ وضوءه للصلاة ثم يأخذ الماء فيدخل أصابعه في أصول الشعر حتى إذا رأى أن قد استبرأ حفن على رأسه ثلاث حفنات ثم أفاض على سائر جسده ثم غسل رجليه
“ Dulu Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- apabila mandi junub, maka beliau mulai dengan mencuci kedua tangannya, lalu beliau tuang air ketangan kirinya dengan tangan kanannya seraya mencuci kemaluannya. Kemudian, dia berwudhu seperti ketika ia mau sholat, lalu mengambil air seraya memasukkan tangannya ke pangkal rambutnya. Setelah itu, dia menciduk air ke atas kepalanya sebanyak tiga kali cidukan, lalu dia mengalirkan air keseluruh tubuhnya, berikutnya ia mencuci kedua kakinya”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (), dan Muslim dalam Shohih-nya (316)]
عن بن عباس عن ميمونة أن النبي صلى الله عليه وسلم اغتسل من الجنابة فغسل فرجه بيده ثم دلك بها الحائط ثم غسلها ثم توضأ وضوءه للصلاة فلما فرغ من غسله غسل رجليه
“Dari Maimunah, ia berkata, bahwa Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- pernah mandi junub, lalu ia mencuci kemaluannya dengan tangannya. Kemudian ia menggosokkan tangannya ke dinding, lalu mencucinya, dan berwudhu’ sepertinya ketika mau sholat. Tatkala usai mandi, maka beliau mencuci kedua kakinya”. [HR. Al-Bukhoriy dan Muslim]

Sumber : Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 14 Tahun I. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas.

...Ibroh dari Layang2....

Allah berfirman,"Wahai orang2 yang beriman jagalah diri dan keluargamu dari api neraka..."
(QS. At-Tahrim : 6)

Dalam ayat ini Allah mengingatkan dan memerintahkan kepada kita agar menjaga diri dan keluarga kita dari api neraka.
Imam Thobary dalam tasfsirnya mengatakan, "Hendaknya kalian saling mengajarkan amalan kebaikan yang jika kalian amalkan maka akan melindungi diri kalian dari neraka.
Ayat ini juga menjelaskan bahwa kewajiban kita untuk berdakwah kepada keluarga kita. Utamanya orang-orang yang paling dekat nasabnya dengan kita.
Kekuatan iman tak cukup menjadi milik pribadi melainkan tanggung jawab terhadap keluarga dan kerabat kita.
Kesholihan seorang ayah dan ibu akan sempurna bila diiringi dengan kesuksesan mengantarkan anak-anaknya pada jalan yang benar.
Ada ilustrasi sederhana untuk menanamkan keimanan pada generasi  muda . Setidaknya tidak melepas si buah hati di luar batas dan senantiasa mengawasi serta  mengarahkan mereka pada jalan yang benar.

Ilustrasi layang-layang...

Yah..sejenak mari kita perhatikan permainan layang-layang. Indah, asyik dan menyenangkan bahkan sampe-sampe waktu berlalu tak terasa ketika menikmati layang-layang. Ada ibrah yang menarik ketika menikmati layang-layang ini.
Bahwa layang-layang harus tetap terbang tapi tali tidak boleh lepas. Benang layang-layang harus tetap dalam genggaman dan kita kendalikan. Begitu pula mata harus senantiasa mengawasi alur pergerakan layang-layang.Bahkan kalau perlu ketika layang-layang putuspun kita harus berlari mengejarnya. Begitulah kebebasan layang-layang terbang tak boleh lepas kontrol.
Sama halnya ketika kita hendak menanamkan benih keimanan pada generasi muda Islam. Ketika kebebasan sudah diluar batas, harus ada yang mengarahkan agar tetap berada dalam koridor jalan yang lurus dan ketika laju zaman membuatnya menyimpang kita harus mengejar dan merangkulnya agar kembali ke pangkuan layaknya layang-layang agar kembali dalam dekapan kita.
Dan yang tidak kalah penting adalah kita berikan teladan yang baik kepada generasi muda kita. Adalah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam selalu menjadi teladan terdepan dalam berbagai kebaikan, sehingga orang-orang pun dengan mudah mencontoh beliau.

“Sungguh telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagi kalian..(yaitu) bagi orang-orang yang mengharap rahmat Allah dan (kedatangan) hari akhirat dan dia banyak menyebut Allah… (QS.Al-Ahzaab:21)

Sungguh….!!!  Terkadang satu keteladanan yang kita amalkan itu lebih baik dari 1000 nasehat .
Kemudian jangan  pernah kita lupa untuk menyisipkan doa2 kebaikan untuk keluarga dan orang2 yang kita cintai. Sebagaimana yang ALlah ajarkan :

 "Dan orang-orang yang berkata : "Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyaenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertaqwa.."
(Al-Furqan : 74)

Keturunan yang menyejukkan hati dikarenakan mereka taat  pada Allah dan berpegang teguh pada syariat-Nya. Begitu pula pasangan suami istri, seorang suami ketika melihat istrinya taat pad Allah dan ia beriman maka sejuklah pandangan mata dan hatinya. Dan jika seorang istri melihat suaminya taat pada Allah dan ia beriman, maka sejuklah hait dan pandangan matanya.. (Syaikh Bin Bazz).

...Kekuatan Cinta Seorang Suami Sholeh...

"Hanya ingin berbagi Ibrah.. semoga bermanfaat...."

Pernikahan itu telah berjalan empat (4) tahun, namun pasangan suami istri itu belum dikaruniai seorang anak. Dan mulailah kanan kiri berbisik-bisik: “kok belum punya anak juga ya, masalahnya di siapa ya? Suaminya atau istrinya ya?”. Dari berbisik-bisik, akhirnya menjadi berisik.

Tanpa sepengetahuan siapa pun, suami istri itu pergi ke salah seorang dokter untuk konsultasi, dan melakukan pemeriksaaan. Hasil lab mengatakan bahwa sang istri adalah seorang wanita yang mandul, sementara sang suami tidak ada masalah apa pun dan tidak ada harapan bagi sang istri untuk sembuh dalam arti tidak peluang baginya untuk hamil dan mempunyai anak.


Melihat hasil seperti itu, sang suami mengucapkan: inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, lalu menyambungnya dengan ucapan: Alhamdulillah.

Sang suami seorang diri memasuki ruang dokter dengan membawa hasil lab dan sama sekali tidak memberitahu istrinya dan membiarkan sang istri menunggu di ruang tunggu perempuan yang terpisah dari kaum laki-laki.

Sang suami berkata kepada sang dokter: “Saya akan panggil istri saya untuk masuk ruangan, akan tetapi, tolong, nanti anda jelaskan kepada istri saya bahwa masalahnya ada di saya, sementara dia tidak ada masalah apa-apa.

Kontan saja sang dokter menolak dan terheran-heran. Akan tetapi sang suami terus memaksa sang dokter, akhirnya sang dokter setuju untuk mengatakan kepada sang istri bahwa masalah tidak datangnya keturunan ada pada sang suami dan bukan ada pada sang istri.

Sang suami memanggil sang istri yang telah lama menunggunya, dan tampak pada wajahnya kesedihan dan kemuraman. Lalu bersama sang istri ia memasuki ruang dokter. Maka sang dokter membuka amplop hasil lab, lalu membaca dan mentelaahnya, dan kemudian ia berkata: “… Oooh, kamu –wahai fulan- yang mandul, sementara istrimu tidak ada masalah, dan tidak ada harapan bagimu untuk sembuh.

Mendengar pengumuman sang dokter, sang suami berkata: inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, dan terlihat pada raut wajahnya wajah seseorang yang menyerah kepada qadha dan qadar Allah Ta'ala.

Lalu pasangan suami istri itu pulang ke rumahnya, dan secara perlahan namun pasti, tersebarlah berita tentang rahasia tersebut ke para tetangga, kerabat dan sanak saudara.

Lima (5) tahun berlalu dari peristiwa tersebut dan sepasang suami istri bersabar, sampai akhirnya datanglah detik-detik yang sangat menegangkan, di mana sang istri berkata kepada suaminya: “Wahai fulan, saya telah bersabar selama

Sembilan (9) tahun, saya tahan-tahan untuk bersabar dan tidak meminta cerai darimu, dan selama ini semua orang berkata:” betapa baik dan shalihah-nya sang istri itu yang terus setia mendampingi suaminya selama Sembilan tahun, padahal dia tahu kalau dari suaminya, ia tidak akan memperoleh keturunan”. Namun, sekarang rasanya saya sudah tidak bisa bersabar lagi, saya ingin agar engkau segera menceraikan saya, agar saya bisa menikah dengan lelaki lain dan mempunyai keturunan darinya, sehingga saya bisa melihat anak-anakku, menimangnya dan mengasuhnya.

Mendengar emosi sang istri yang memuncak, sang suami berkata: “istriku, ini cobaan dari Allah Ta'ala, kita mesti bersabar, kita mesti …, mesti … dan mesti …”. Singkatnya, bagi sang istri, suaminya malah berceramah di hadapannya.

Akhirnya sang istri berkata: “OK, saya akan tahan kesabaranku satu tahun lagi, ingat, hanya satu tahun, tidak lebih”. Sang suami setuju, dan dalam dirinya, dipenuhi harapan besar, semoga Allah Ta'ala memberi jalan keluar yang terbaik bagi keduanya.

Beberapa hari kemudian, tiba-tiba sang istri jatuh sakit, dan hasil lab mengatakan bahwa sang istri mengalami gagal ginjal. Mendengar keterangan tersebut, jatuhnya psikologis sang istri, dan mulailah memuncak emosinya. Ia berkata kepada suaminya: “Semua ini gara-gara kamu, selama ini aku menahan kesabaranku, dan jadilah sekarang aku seperti ini, kenapa selama ini kamu tidak segera menceraikan saya, saya kan ingin punya anak, saya ingin memomong dan menimang bayi, saya kan … saya kan …”. Sang istri pun bad rest di rumah sakit.

Di saat yang genting itu, tiba-tiba suaminya berkata: “Maaf, saya ada tugas keluar negeri, dan saya berharap semoga engkau baik-baik saja”. “Haah, pergi?”. Kata sang istri. “Ya, saya akan pergi karena tugas dan sekalian mencari donatur ginjal, semoga dapat”. Kata sang suami.

Sehari sebelum operasi, datanglah sang donatur ke tempat pembaringan sang istri. Maka disepakatilah bahwa besok akan dilakukan operasi pemasangan ginjal dari sang donatur.

Saat itu sang istri teringat suaminya yang pergi, ia berkata dalam dirinya: “Suami apa an dia itu, istrinya operasi, eh dia malah pergi meninggalkan diriku terkapar dalam ruang bedah operasi”.

Operasi berhasil dengan sangat baik. Setelah satu pekan, suaminya datang, dan tampaklah pada wajahnya tanda-tanda orang yang kelelahan.

Ketahuilah bahwa sang donatur itu tidak ada lain orang melainkan sang suami itu sendiri. Ya, suaminya telah menghibahkan satu ginjalnya untuk istrinya, tanpa sepengetahuan sang istri, tetangga dan siapa pun selain dokter yang dipesannya agar menutup rapat rahasia tersebut.

Dan subhanallah …

Setelah Sembilan (9) bulan dari operasi itu, sang istri melahirkan anak. Maka bergembiralah suami istri tersebut, keluarga besar dan para tetangga.

Suasana rumah tangga kembali normal, dan sang suami telah menyelesaikan studi S2 dan S3-nya di sebuah fakultas syari’ah dan telah bekerja sebagai seorang panitera di sebuah pengadilan di Jeddah. Ia pun telah menyelesaikan hafalan Al-Qur’an dan mendapatkan sanad dengan riwayat Hafs, dari ‘Ashim.

Pada suatu hari, sang suami ada tugas dinas jauh, dan ia lupa menyimpan buku hariannya dari atas meja, buku harian yang selama ini ia sembunyikan. Dan tanpa sengaja, sang istri mendapatkan buku harian tersebut, membuka-bukanya dan membacanya.

Hampir saja ia terjatuh pingsan saat menemukan rahasia tentang diri dan rumah tangganya. Ia menangis meraung-raung. Setelah agak reda, ia menelpon suaminya, dan menangis sejadi-jadinya, ia berkali-kali mengulang permohonan maaf dari suaminya. Sang suami hanya dapat membalas suara telpon istrinya dengan menangis pula.

Dan setelah peristiwa tersebut, selama tiga bulanan, sang istri tidak berani menatap wajah suaminya. Jika ada keperluan, ia berbicara dengan menundukkan mukanya, tidak ada kekuatan untuk memandangnya sama sekali.

(Diterjemahkan dari kisah yang dituturkan oleh teman tokoh cerita ini, yang kemudian ia tulis dalam email dan disebarkan kepada kawan-kawannya)


sumber :http://seorangayah.wordpress.com/


Salam ukhuwah dari akhukum fillah...

...Hati2 Banyak Mengkritik...

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah atas baginda Muhammad shallallahu alaihi wasallam, keluarga dan segenap pengikutnya hingga hari akhir kelak.

Dalam banyak Ayat dan Hadits, Allah Ta'ala dan Rasul-Nya menegaskan pada kita, bahwa orang beriman itu bersaudara. Bersaudara dalam arti saling mencintai, menghormati, membela dan sebagainya. Perumpamaan mereka, ibarat satu bangunan kokoh yang saling melengkapi. Atau seolah satu tubuh yang sempurna. Jika satu anggotanya didera sakit, maka yang lain akan larut merasakannya. Dan ini merupakan hakikat ukhuwah yang diserukan Islam. Hingga wajar jika kemudian menjadi satu ketetapan hukum asal dalam agama ini. Bahwa orang yang beriman itu bersaudara dengan segala konsekwensinya.
Olehnya, haram bagi seseorang melanggar tapal batas dari konsekwensi persaudaraan itu, kecuali jika ia datang dengan dalil dan hujjah yang kuat. Bukan berdasarkan dugaan atau prasangka. Misalnya mengghibah, hajr (boikot), mencela mereka dan selainnya. Sebab, hukum asal dari perbuatan-perbuatan ini adalah haram. Bahkan, termasuk dosa besar yang membinasakan. Dimana seorang muslim tidak boleh keluar darinya melainkan dengan dalil dan argumentasi yang kuat pula.
Di sinilah letak persoalan yang kita hadapi. Kadang kita terlalu cepat dan tergesa untuk keluar dari hukum asal ini. Tidak ada upaya dari dalam diri untuk tabayyun dan klarifikasi atas prasangka terhadap saudara muslim kita. Terlalu sering kita begitu percaya pada kabar burung dari orang yang kita anggap tsiqoh –terpercaya-. Padahal, merupakan perkara aksiomatik dalam kaidah agama kita, bahwa dugaan yang lemah tidak bisa menandingi kekuatan dalil-dalil yang sharih. "Cukuplah seorang dikatakan pendusta jika ia menceritakan setiap apa yang ia dengar". (HR. Imam Muslim).
Jika demikian halnya, maka dapat dipastikan bahwa saat itu kita telah terseret dalam kegelapan zalim yang menakutkan. Tergelincir dalam kubangan kerugian yang memiriskan. Sebab ancaman "kebangkrutan" amal shalih di akhirat telah menanti di depan mata. Sungguh, orang yang paling rugi, sebagaimana ditegaskan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam, adalah orang yang bangkrut amal kebajikannya pada hari kiamat lantaran perlakuan lalim atas saudara muslimnya sendiri.
Bahkan, lebih celaka lagi, tidak jarang kita malah nekat berdusta atas kehormatan dan harga diri saudara kita. Atas nama membela sunnah, katanya. Dan kelancangan ini kita lakukan kala kita tidak lagi menemukan cela untuk menjatuhkan palu vonis atas saudara agar tersemat padanya gelar ahli bid'ah, sururi, hizbi atau gelar-gelar buruk lainnya. Hmm, sekali lagi atas nama agama, katanya. Bohong yang semestinya boleh untuk menciptakan lahirnya kedamaian di antara kaum muslimin, justru kita manfaatkan untuk menghembuskan keresahan dalam barisan mereka. Memecah belah persatuan. Serta membuat musuh bersorak gembira dan merasa terwakili untuk urusan itu. Padahal, Mungkin saja kita sendiri yang justru terjebak pada apa yang kita peringatkan tersebut. Imam Abu Ishaq al-Jurjani berkata: "Cukuplah kedustaan itu sebagai bid'ah".[i]
Duh, kenikmatan apa sebenarnya yang dirasakan mereka yang gemar berbohong atas harga diri saudaranya. Kepuasan macam apa yang mereka dapatkan kala menjadikan kehormatan saudaranya sebagai bahan olok-olokan dan tertawaan di majelis-majelis mereka. Sungguh, kecerobohan mereka itu sama dengan menyantap bangkai daging saudaranya mentah-mentah. Padahal, mestinya ia merasa sedih kala mendapatkan kesalahan pada diri saudara muslimnya. Imam al-Syafi'i berkata: ”Tidak pernah sekali-pun aku mendebat seseorang lalu aku senang jika ia kalah". (Shahih, riwayat Ibnu Hibban). Tidakkah mereka itu takut, bahwa orang yang ia zalimi dan ghibahi bakal menuntut haknya di hari kiamat nanti? Duhai, kemana gerangan rasa takut itu??
Imam Ibnu Shalah meriwayatkan, tatkala Ibnu Abi Hatim menguraikan kitabnya, al-Jarh Wa al-Ta'dil di depan khalayak, dikabarkan padanya ucapan Yahya bin Ma'in: "Sungguh kita sedang mencela (mengkritik) orang-orang yang mungkin saja telah mendiami tempat-tempat mereka di dalam surga sejak dua ratus tahun lalu". Ibnu Abi Hatim tertegun. Kemudian menangis pilu. Kedua tangannya gemetar, hingga lembaran-lembaran yang ada dalam genggamannya berserakan jatuh.[ii]
Ya, boleh jadi orang yang selalu kita cela, kita ghibah, dan rendahkan telah menapaki istana-istana mereka di surga. Mungkin saja orang yang kita anggap (baca: tuduh) sesat atau menyimpang telah meraih derajat tinggi di sisi Allah Ta'ala. Yakni, derajat mulia yang mereka gapai bukan hanya lantaran amal shalih mereka semata. Bahkan, mungkin dari "sumbangan" amal kebaikan yang kita persembahkan secara percuma kepada mereka akibat tuduhan kita yang tidak mendasar.
Bersikaplah seperti ulama salaf kita. Sebenarnya, mereka memiliki udzur untuk kemudian dibolehkan baginya membeberkan cela dan keburukan orang lain (perawi hadits). Sebab, kedudukannya sebagai pengawal al-sunnah menuntut demikian. Disamping demi mashlahat dan kebaikan bagi agama. Akan tetapi, masih saja mereka khawatir, jangan sampai perbuatan mereka itu menjadi bumerang bagi dirinya di hari kemudian. Karena mereka sadar, bahwa pada dasarnya, apa yang mereka kerjakan itu adalah terlarang. Dan keliru dalam menyikapinya bakal berujung penyesalan abadi.
Banyak muatan pelajaran yang bisa dipetik dari kisah di atas. Sebab kadang kita lupa, bahwa sikap wara' dan takut kepada Allah Ta'ala termasuk syarat yang harus wujud dalam perkara mengkritik saudara kita. Ini-pun jika memang mengharuskan kita untuk mengkritik. Pasalnya, dalam banyak keadaan, saat melontarkan kritik atas orang lain, kita kadang tidak jeli memisahkan antara ghirah terhadap agama dan intishar ala nafs –karena tendensi pribadi-. Kendati lisan kita dengan fasihnya mengulang-ulang, ini semua semata-mata atas nama agama dan al-sunnah.
Padahal, lubuk hati kita parau membisikkan, berlaku adillah!! Tidak sedikit kritik kita sebenarnya dilatari kepentingan pribadi, hasad dan dengki. Makanya kritik yang kita bidikkan itu tidak lagi berjalan di atas dalil dan manhaj tawazun (keadilan). Dan inilah yang banyak disedihkan oleh para ulama kita. Perselisihan dan saling melecehkan yang lahir lantaran desakan hawa nafsu dan informasi dusta tanpa upaya klarifikasi.
Bahkan kita selalu berusaha menampik bisikan itu. Lalu mengais-ngais dalih bahwa hal ini-pun telah ada dan dilakukan para salaf. Tujuannya adalah untuk menjaga kemurnian agama dan sunnah. Akan tetapi kita lupa, atau mungkin pura-pura tidak tahu, sikap tegas mereka itu tegak di atas landasan akhlak, wara', takut dan sikap kehati-hatian. Bukan serampangan dan membabi buta seperti yang kita lakukan. Hingga kerap kita bersemangat mengaplikasikan satu sisi dari sikap para salaf, kemudian mengabaikan sisi lain yang barangkali lebih urgen. Kita hanya pandai melihat sikap tegas ulama salaf dalam mengkritik, namun jahil dalam menilik kelemah-lembutan, tabayyun dan sikap wara' mereka.
Makanya al-Hafidz al-Dzahabi mengingatkan: "Membincangkan para perawi butuh sikap wara' yang sempurna serta terlepas dari belitan hawa nafsu dan kecendrungan diri".[iii] Duh, nasehat ini beliau persembahkan kepada para ulama kibar dalam masalah jarh wa al-ta'dil, yang sekali lagi, memiliki udzur untuk "membongkar" kejelekan orang lain. Maka bagaimana dengan mereka yang "baru kemarin" belajar agama, kemudian tergesa memposisikan dirinya sejajar dengan ulama-ulama tersebut?? Atau, bahkan lebih "lancang" dari mereka? Sungguh, satu ketergesaan yang amat berbahaya. Allah Ta'ala berfirman: "Sukakah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya". (Qs: al-Hujurat : 12). Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: "Setiap muslim atas muslim yang lain haram darah, harta dan kehormatannya". (HR. Imam Muslim).
Ketahuilah, sikap berlebihan dalam memberi kritik itu, kendati kita berada pada posisi yang dibolehkan untuknya, bisa menjadi aib dan merubuhkan muru'ah pelakunya sendiri. Karenanya, sebagian salaf justru balik mengkritik para ahli jarh (kritik) yang melampaui batas. Contohnya Imam Ali bin al-Madini, seperti dipaparkan oleh Imam al-Mizzi,[iv] beliau tidak menerima perkataan Abu Nu'aim (al-Fadl bin Dukain) dan Affan (Ibnu Muslim) kendati keduanya tergolong orang jujur –bahkan termasuk jajaran punggawa ahli hadits-, lantaran keduanya tidak pernah meninggalkan seorang perawi-pun melainkan ia berbicara tentang kejelekannya.
Karenanya, kembali pada contoh kehidupan para salaf merupakan keharusan yang menuntut. Dalam segala sisi kehidupan mereka. Termasuk diantaranya metode dalam mengkritik dan memberi nasehat pada saudara mereka. Dan hati-hati dari melampaui batas dalam urusan ini. Sebab, pembatas antara hukum asal dan kebolehan padanya sangat tipis. Tipis sekali. "Dan kamu menganggapnya sesuatu yang ringan saja, padahal dia di sisi Allah adalah besar". (Qs: al-Nuur:15). Wallahu a'lam.


[i] . Ahwaal al-Rijal, 22. Program al-Maktabah asy-Syamilah, vol. 3.3

[ii] . Uluum al-Hadits, hal: 350-351.

[iii] . al-Muuqidzah, hal 82.

[iv] . Tahzib al-Kamal 20/168, Program al-Maktabah al-Syamilah, vol 3.3.

...Aku, kamu dan dia...

Disaat matahari terbit,
Tak jarang kita enggan untuk melihatnya,

Setelah ia terbenam,
Barulah kita menyadari betapa indahnya matahari itu...

Mungkin seseorang pernah hadir mengisi hari2 kita,
Terasa biasa saja, tiada yg istimewa
Namun setelah ia pergi,
Barulah kita menyadari, betapa berartinya dia...

Dan boleh jadi,
Engkau kehilangan banyak manfaat seiring dengan kepergiannya..
Dan dia tidak akan pernah kau temui lagi..

Seperti itulah waktu,
Takkan kembali walau engkau menunggunya,
Dan akan meninggalkanmu walau engkau meminta untuk menunggumu........

Hargailah apa yg ada dalam hidupmu,
Sebelum yg tersisa hanyalah penyesalan dan kerugian yg tak berkesudahan.....

"Demi masa...
Sesungguhnya manusia itu benar2 dalam kerugian,
Kecuali orang2 yang beriman,
Beramal sholeh,
Dan saling memberikan nasehat dalam kebenaran dan kesabaran..."
(QS. Al-'ashr;1-3)

...Wanita Yang Dikenang Indah Sepanjang Masa...

Alloh Subhanahu wa Ta'ala berkata :

وَضَرَبَ اللهُ مَثَلاً لِلَّذِيْنَ آمَنُوا اِمْرَأَةَ فِرْعَوْنَ إِذْ قَالَتْ رَبِّ ابْنِ لِي عِنْدَكَ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ وَنَجِّنِي مِنْ فِرْعَوْنَ وَعَمَلِهِ وَنَجِّنِي مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِيْنَ

Dan Alloh membuat istri Fir'aun sebagai perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika istri Fir'aun berkata : "Wahai Robbku, bangunkanlah untukku di sisiMu sebuah rumah dalam surga. Dan selamatkanlah aku dari Fir'aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang zholim." (QS.At Tahrim: 11)

Asiyah bintu Muzahim, istri Fir'aun seorang wanita kisahnya terukir indah dalam Al Qur'an. Ayat-ayat Robb Yang Maha Tinggi menuturkan kesholihan yang mempersaksikan keimanan yang berakar kokoh dalam relung kalbu. Sehingga pantas sekali kita katakan bahwa beliau adalah wanita yang manis dalam sebutan dan indah dalam ingatan. Asiyah  adalah teladan bagi wanita-wanita yang beriman kepada Alloh Subhanahu wa Ta'ala dan uswah hasanah bagi para istri kaum mukminin.

Al Imam Ath Thobari rohimahullohu berkata dalam kitab tafsirnya :

"Alloh yang Maha Tinggi berkata bahwasanya Dia membuat permisalan bagi orang-orang yang membenarkan Alloh Ta'ala dan mentauhidkanNya, dengan istri Fir'aun yang beriman kepada Alloh Ta'ala, mentauhidkanNya, dan membenarkan utusan Alloh Musa alaihissalam. Sementara wanita ini di bawah penguasaan suami yang kafir, satu dari sekian musuh Alloh Ta'ala. Namun kekafiran dan kejelekan suaminya itu tidak memudharotkannya, karena ia tetap beriman kepada Alloh Ta'ala. Sementara, termasuk ketetapan Alloh Ta'ala kepada makhlukNya adalah seseorang tidaklah dibebani dosa orang lain (tapi masing-masing membawa dosanya sendiri), dan setiap jiwa mendapatkan apa yang ia usahakan." (Jami'ul Bayan fi Ta'wilil Qur'an, Tafsir Ath Thobari, 12/162)

"Pada diri Asiyah ada permisalan yang indah bagi para istri yang mengharapkan perjumpaan dengan Alloh Subhanahu wa Ta'ala dan hari akhir... dijadikan contoh untuk mendorong kaum mukminin dan mukminat agar berpegang teguh dengan ketaatan dan kokoh di atas agama." (dinukilkan dengan sedikit meringkas dari Tafsir Al-Qurthubi, 9/132)

Seorang istri yang sholihah, ia akan bersabar dengan kekurangan yang ada pada suaminya dan bersabar dengan kesulitan hidup bersama suaminya. Tidaklah ia mudah berkeluh kesah di hadapan suaminya atau mengeluhkan suaminya kepada orang lain, apalagi mengghibah suami, menceritakan aib atau cacat dan kekurangan sang suami, bahkan meminta cerai, Allohu Musta'an - sebagaimana yang terjadi di zaman ini (ironis justru itu dilakukan oleh para wanita yang mengaku meneladani wanita mu'minah dan telah sampai padanya hujjah), 

Wanita sholihah, bagaimana pun kekurangan suaminya dan kesempitan hidup bersamanya, ia tetap bersyukur di sela-sela kekurangan dan kesempitan tersebut, karena Alloh Subhanahu wa Ta'ala memilihkan lelaki muslim yang beriman kepada Alloh Ta'ala dan hari akhir sebagai pendamping hidupnya. Dan tidak memberinya suami seperti suami Asiyah bintu Muzahim yang sangat kafir kepada Alloh Subhanahu wa Ta'ala dan berbuat aniaya terhadap istri karena ia beriman kepada Alloh Ta'ala dan RosulNya.

Tersebutlah, ketika Fir'aun itu mengetahui keimanan Asiyah istrinya, ia keluar menemui kaumnya lalu bertanya : "Apa yang kalian ketahui tentang Asiyah bintu Muzahim?" Merekapun memujinya. Fir'aun berkata : "Ia menyembah Tuhan selain aku." Mereka berkata : "Kalau begitu, bunuhlah dia." Maka Fir'aun membuat pasak-pasak untuk istrinya, kemudian mengikat kedua tangan dan kedua kaki istrinya, kemudian menyiksanya di bawah terik matahari. Jika Fir'aun berlalu darinya, para malaikat menaungi Asiyah dengan sayap-sayap mereka. Asiyah berdoa : "Wahai Robbku, bangunkanlah untukku di sisi-Mu sebuah rumah di dalam surga."

Alloh Subhanahu wa Ta'ala pun mengabulkan doa Asiyah dengan membangunkan sebuah rumah di surga untuknya. Dan rumah itu diperlihatkan kepada Asiyah, maka ia pun tertawa. Bertepatan dengan itu Fir'aun datang. Melihat Asiyah tertawa, Fir'aun berkata keheranan : "Tidakkah kalian heran dengan kegilaan Asiyah ? Kita siksa dia, malah tertawa."

Menghadapi beratnya siksaan Fir'aun, hati Asiyah tidak lari untuk berharap kepada makhluk. Ia hanya berharap belas kasih dan pertolongan dari Penguasa makhluk, Alloh Subhanahu wa Ta'ala. Ia berdoa agar diselamatkan dari siksaan yang ditimpakan Fir'aun dan kaumnya serta tidak lupa memohon agar diselamatkan dari melakukan kekufuran sebagaimana yang diperbuat Fir’aun dan kaumnya.*

Akhir dari semua derita dunia itu, berujung dengan dicabutnya ruh Asiyah untuk menemui janji Alloh Subhanahu wa Ta'ala.(Jami'ul Bayan fi Ta'wilil Qur'an 12/162, Al-Jami' li Ahkamil Qur'an/ Tafsir Al-Qurthubi 9/132, Ruhul Ma'ani 13/790, An Nukat wal Uyun Tafsir Al Mawardi 6/47).

Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa sallam berkata :

حَسْبُكَ مِنْ نِسَاءِ الْعَالَمِيْنَ: مَرْيَمُ ابْنَةُ عِمْرَانَ وَخَدِيْجَةُ بِنْتَ خُوَيْلِدٍ وَفَاطِمَةُ بِنْتُ مُحَمَّدٍ وَآسِيَةُ امْرَأَةُ فِرْعَوْنَ

"Cukup bagimu dari segenap wanita di alam ini : "Maryam putri Imron, Khodijah bintu Khuwailid, Fathimah bintu Muhammad, dan Asiyah istri Fir'aun."(HR. At Tirmidzi no. 3878, kitab Manaqib an Rosulillah, bab Fadhlu Khodijah rodhiyallohu 'anha, dari hadits Anas bin Malik rodhiyallohu 'anhu. Dishohihkan Asy Syaikh Al Albani rohimahullohu dalam Shohih At Tirmidzi dan Al Misykat no. 6181).


Yakni cukup bagimu untuk sampai kepada martabat orang-orang yang sempurna dengan mencontoh keempat wanita ini, menyebut kebaikan-kebaikan mereka, kezuhudan mereka terhadap kehidupan dunia, dan tertujunya hati mereka kepada kehidupan akhirat. Kata Ath Thibi, cukup bagimu dengan mengetahui atau mengenal keutamaan mereka dari mengenal seluruh wanita. (Tuhfatul Ahwadzi, kitab Al Manaqib)

Beliau Shollallohu 'alaihi wa Sallam juga bersabda memuji Asiyah dan Maryam :

كَمُلَ مِنَ الرِّجَالِ كَثِيْرٌ، وَلَمْ يَكْمُلْ مِنَ النِّسَاءِ إِلاَّ آسِيَةُ امْرَأُةُ فِرْعَوْنَ وَمَرْيَمُ ابْتَةُ عِمْرَانَ، وَإِنَّ فَضْلَ عَائِشَةَ عَلى النِّسَاءِ كَفَضْلِ الثَّرِيْدِ عَلى سَائِرِ الطَّعَامِ

"Orang yang sempurna dari kalangan laki-laki itu banyak, namun tidak ada yang sempurna dari kalangan wanita kecuali Asiyah istri Fir'aun dan Maryam putri Imron, dan sungguh keutamaan Aisyah atas para wanita selainnya seperti kelebihan tsarid atas seluruh makanan."(HR. Al Bukhori no. 3411, kitab Ahaditsul Anbiya, bab Qoulillahi Ta'ala : "Wa Dhoroballohu Matsalan lilladzina Amanu… ". Diriwayatkan pula oleh Al-Imam Muslim no. 6222, kitab Fadho'il Ash Shohabah).

"Di antara keutamaan Asiyah adalah ia memilih dibunuh daripada mendapatkan (kenikmatan berupa) kerajaan (karena suaminya seorang raja). Dan ia memilih siksaan (penderitaan) di dunia daripada mendapatkan kenikmatan yang tadinya ia reguk di istana sang suami yang zholim. Ternyata firasatnya tentang Musa alaihissalam benar adanya ketika ia berkata kepada Fir'aun saat mengutarakan keinginannya untuk menjadikan Musa 'alaihissalam sebagai anak angkatnya : قُرَةُ عَيْنٍ لِي (agar ia menjadi penyejuk mata bagiku)".(Fathul Bari 6/544)

Faedah : *Al Allamah Al Alusi rohimahullohu dalam tafsirnya mengatakan : "Dalam ayat ini terdapat dalil bahwa beristi'adzah (minta perlindungan) kepada Alloh Ta'ala dan mohon keselamatan dariNya ketika terjadi ujian atau cobaan dan goncangan, merupakan kebiasaan yang dilakukan orang-orang sholih dan sunnah para nabi. Dan ini banyak disebutkan dalam Al-Qur'an." (Ruhul Ma'ani fi Tafsir Al-Qur'anil Azhim was Sab'il Matsani, 13/791).
 
Copyright (c) 2010 Cahaya iLmu. Design by WPThemes Expert
Themes By Buy My Themes And Cheap Conveyancing.