Pages

Sabtu, 21 Mei 2011

Allahu Akbar.. Adakah sifat ini di hatimu..??

Suatu ketika, Abdullah bin Mas’ud keluar ke pasar dan menaruh uang pada lipatan sorbannya. Lalu duduk pada seorang penjual dan membeli makanan darinya. Ketika ia mengangkat tangan untuk mengambil uangnya, ia mendapati uang tersebut telah lenyap. Lalu dia berkata: “Demi Allah! Ketika saya duduk tadi, uang itu ada bersama saya. Tapi sekarang tak ada sama sekali.”

Abdullah bin Mas’ud sangat heran dan kaget. Lalu sebagaimana kebiasaan yang ada pada kita, orang-orang pun berkumpul di sekelilingnya untuk menolong. Memberi simpati dan menghiburnya atas kejadian yang baru saja menimpa. Orang-orang itu mulai mendoakan sang pencuri:” Ya Allah ! Potonglah tangan pencuri yang telah mengambil uangnya!” “ Ya Allah! Hukumlah ia seberat-beratnya.” Dan lain sebagainya. Yang jelas, semua orang yang ada disitu duduk sebentar untuk mendoakan jelek kepada sang pencuri.

Adapun Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu, maka beliau hanya berujar: “Ya Allah! Jika dia mengambil uang saya karena sangat membutuhkannya maka berkahilah ia padanya. Tetapi jika dia melakukan itu karena semata-mata berbuat dosa (tanpa alasan apapun), maka jadikanlah perbuatan ini sebagai dosa terakhir atasnya".
(lihat; Mau'idzah al-Mukminin min Ihya' 'Ulumid Dien, I/321. Lihat pula: Hukmul Ayyam, I/138)

Selesai!! Itu saja. Tak ada doa agar sang pencuri dipotong tangannya, dilaknati Allah Ta'ala, dilumpuhkan anggota-anggota tubuhnya, dibutakan mata, dihilangkan telinganya, atau didoakan agar mengharap kematian tapi kemudian kematian itu tak datang-datang, atau agar darahnya dibekukan dan lain sebagainya. Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu sama sekali tak melantunkan doa-doa seperti itu. Justru ia mendoakan kebaikan bagi sang pencuri, bukan mendoakan keburukan atasnya.

Wahai saudara sekalian…Seandainya anda keluar kemudian bertemu seseorang yang tak pernah menjaga hak-hak anda dan tak pernah menghormati anda. Kemudian dia mengucapkan perkataan kotor, mencaci, dan memperdengarkan kepada anda sesuatu yang sangat anda benci. Tindakan apa yang akan anda lakukan?! Anda membalasnya dengan hal yang serupa?! Membalas dendam atau berubah menjadi musuh baginya?

Wahai saudara sekalian…Para pemilik jiwa yang besar, pada situasi-situasi seperti ini akan selalu mengingat firman Allah Ta'ala, "Tolaklah kejahatan itu dengan sesuatu yang paling baik”. (QS. Fushshilat:34).

Idfa’ billati hiya ahsan”  inilah yang menjadi syi’ar atau semboyan mereka...
kita mencontoh yuuk..???

Senin, 16 Mei 2011

...Hukum Menyingkat Salaam dan Sholawat...

Banyak saudara kita yang menulis ucapan salam, ucapan sholawat dan asma Allah dengan singkatan, baik itu di commet-commet, di sms, dll. Kita tahu bahwa menulis tidaklah beda dengan kita berbicara kepada orang lain, yang mana disitu ada malaikat yang senantiasa mencatat perbuatan tersebut.

Sekecil apapun perbuatan itu pasti ada nilainya disisi Allah, dan sesungguhnya amal ibadah seseorang itu tergantung dari keikhlasan masing-masing individu, kalaulah kita hendak bersholawat, hendaknya menuliskannya dengan lengkap (tidak dengan menyingkatnya), sebagai bukti keikhlasan kita dalam mengamalkannya.

insya Allah dengan membiasakan ini amalan kita akan menjadi sempurna, Inilah adab kepada Allah dan Rasul-Nya yang harus kita perhatikan. Berikut adalah fatwa-fatwa ulama seputar masalah penyingkatan kata:

Fatwa Syaikh Wasiyullah Abbas (Ulama Masjidil Haram, pengajar di Ummul Qura)

Soal:
Banyak orang yang menulis salam dengan menyingkatnya, seperti dalam Bahasa Arab mereka menyingkatnya dengan wrwb islam Fatwa Larangan Penyingkatan Salam dan Shalawat Dalam bahasa Inggris mereka menyingkatnya dengan “ws wr wb” (dan dalam bahasa Indonesia sering dengan “ass wr wb” – pent). Apa hukum masalah ini?

Jawab:
Tidak boleh untuk menyingkat salam secara umum dalam tulisan, sebagaimana tidak boleh pula meningkat shalawat dan salam atas Nabi kita shallallahu ‘alaihi wasallam. Tidak boleh pula menyingkat yang selain ini dalam pembicaraan.

Diterjemahkan dari www.bakkah.net
Fatwa Lajnah Ad-Daimah (Dewan Fatwa Kerajaan Saudi Arabia)

Soal:
Bolehkah menulis huruf SAW yang maksudnya shalawat (ucapan shallallahu ‘alaihi wasallam). Dan apa alasannya?

Jawab:
Yang disunnahkan adalah menulisnya secara lengkap –shallallahu ‘alaihi wasallam- karena ini merupakan doa. Doa adalah bentuk ibadah, begitu juga mengucapkan kalimat shalawat ini.

Penyingkatan terhadap shalawat dengan menggunakan huruf shad atau penyingkatan Salam dan Shalawat (seperti SAW, penyingkatan dalam Bahasa Indonesia -pent) tidaklah termasuk doa dan bukanlah ibadah, baik ini diucapkan maupun ditulis. Dan juga karena penyingkatan yang demikian tidaklah pernah dilakukan oleh tiga generasi awal Islam yang keutamaannya dipersaksikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Wabillahit taufiq, dan semoga shalawat dan salam tercurah kepada Nabi kita Muhammad, keluarga serta para sahabat beliau.

Dewan Tetap untuk Penelitian Islam dan Fatwa

Ketua: Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Ibn Abdullaah Ibn Baaz;
Anggota: Syaikh ‘Abdur-Razzaaq ‘Afifi;
Anggota: Syaikh ‘Abdullaah Ibn Ghudayyaan;
Anggota: Syaikh ‘Abdullaah Ibn Qu’ood

(Fataawa al-Lajnah ad-Daa.imah lil-Buhooth al-’Ilmiyyah wal-Iftaa., - Volume 12, Halaman 208, Pertanyaan ke-3 dariFatwa No.5069)

Diterjemahkan dari http://fatwa-online.com/fataawa/miscellaneous/enjoiningthegood/0020919.htm

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Apa keutamaan bershalawat untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam? Bolehkah kita menyingkat ucapan shalawat tersebut dalam penulisan, misalnya kita tulis Muhammad SAW dengan maksud singkatan dari salallahu 'alaihi wassalam ?

Jawab:
Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz menjawab:

“Mengucapkan shalawat untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam merupakan perkara yang disyariatkan. Di dalamnya terdapat faedah yang banyak. Di antaranya menjalankan perintah Allah, menyepakati Allah Subhanallahu Wa ta’ala dan para malaikat-Nya yang juga bershalawat untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Allah berfirman:

“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah untuk Nabi dan ucapkanlah salam kepadanya.” (Al-Ahzab: 56)

Faedah lainnya adalah melipat gandakan pahala orang yang bershalawat tersebut, adanya harapan doanya terkabul, dan bershalawat merupakan sebab diperolehnya berkah dan langgengnya kecintaan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam. Sebagaimana bershalawat menjadi sebab seorang hamba beroleh hidayah dan hidup hatinya. Semakin banyak seseorang bershalawat kepada beliau shallallahu ‘alaihi wasallam dan mengingat beliu, akan semakin kental pula kecintaan kepada beliau di dalam hati. Sehingga tidak tersisa di hatinya penentangan terhadap sesuatu pun dari perintahnya dan tidak pula keraguan terhadap apa yang beliau sampaikan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri telah memberikan anjuran untuk mengucapkan shalawat atas beliau dalam beberapa hadits. Di antaranya hadits yang diriwayatkan Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya dari Abu Hurairah Radhiallahuanhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Siapa yang bershalawat untukku satu kali maka Allah akan bershalawat untuknya sepuluh kali.”

Dari hadits Abu Hurairah radhiallahu anhu juga, disebutkan bahwa Rasululah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Janganlah kalian menjadikan rumah-rumah kalian seperti kuburan (Dengan tidak dikerjakan shalat sunnah di dalamnya, demikian pula Al-Qur’an tidak dibaca di dalamnya. (-pent.)) dan jangan kalian jadikan kuburanku sebagai id (tempat kumpul-kumpul -pent). Bershalawatlah untukku karena shalawat kalian sampai kepadaku di mana pun kalian berada.” [Diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad dan Abu Dawud, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Abi Dawud]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah pula bersabda:

“Terhinalah seorang yang aku (namaku) disebut disisinya namun ia tidak mau bershalawat untukku.” [HR. At-Tirmidzi, kata Asy-Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahihul Musnad Mimma Laisa fish Shahihain, “Hadits hasan gharib.”]

Bershalawat untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam disyariatkan dalam tasyahhud shalat, dalam khutbah, saat berdoa serta beristighfar. Demikian pula setelah adzan, ketika keluar serta masuk masjid, ketika mendengar nama beliau disebut, dan sebagainya.

Perkaranya lebih ditekankan ketika menulis nama beliau dalam kitab, karya tulis, risalah, makalah, atau yang semisalnya berdasarkan dalil yang telah lewat. Ucapan shalawat ini disyariatkan untuk ditulis secara lengkap/sempurna dalam rangka menjalankan perintah Allah Aza Wajallah kepada kita dan agar pembaca mengingat untuk bershalawat ketika melewati tulisan shalawat tersebut. Tidak sepantasnya lafazh shalawat tersebut ditulis dengan singkatan misalnya shad1 islam Fatwa Larangan Penyingkatan Salam dan Shalawat atau slm1 islam Fatwa Larangan Penyingkatan Salam dan Shalawat ataupun singkatan-singkatan yang serupa dengannya, yang terkadang digunakan oleh sebagian penulis dan penyusun. Hal ini jelas menyelisihi perintah Allah Aza Wajallah dalam firman-Nya:

“… bershalawatlah untuk Nabi dan ucapkanlah salam kepadanya.”

Dan juga dengan menyingkat tulisan shalawat tidak akan sempurna maksudnya serta tidak diperoleh keutamaan sebagaimana bila menuliskannya secara sempurna. Terkadang pembaca tidak perhatian dengan singkatan tersebut atau tidak paham maksudnya.

Menyingkat lafazh shalawat ini dibenci oleh para ulama dan mereka memberikan peringatan akan hal ini.

Ibnu Shalah
Ibnu Shalah dalam kitabnya ‘Ulumul Hadits yang lebih dikenal dengan Muqqadimah Ibnish Shalah mengatakan, “(Seorang yang belajar hadits ataupun ahlul hadits) hendaknya memerhatikan penulisan shalawat dan salam untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bila melewatinya. Janganlah ia bosan menulisnya secara lengkap ketika berulang menyebut Rasulullah.”

Ibnu Shalah juga berkata, “Hendaklah ia menjauhi dua kekurangan dalam penyebutan shalawat tersebut:

Pertama, ia menuliskan lafazh shalawat dengan kurang, hanya meringkasnya dalam dua huruf atau semisalnya.

Kedua, ia menuliskannya dengan makna yang kurang, misalnya ia tidak menuliskan wassalam islam Fatwa Larangan Penyingkatan Salam dan Shalawat

Al-‘Allamah As-Sakhawi
Al-‘Allamah As-Sakhawi dalam kitabnya Fathul Mughits Syarhu Alfiyatil Hadits lil ‘Iraqi, menyatakan, “Jauhilah wahai penulis, menuliskan shalawat dengan singkatan, dengan engkau menyingkatnya menjadi dua huruf dan semisalnya, sehingga bentuknya kurang. Sebagaimana hal ini dilakukan oleh orang jahil dari kalangan ajam (non Arab) secara umum dan penuntut ilmu yang awam. Mereka singkat lafazh shalawat dengan saw dan shad, Karena penulisannya kurang, berarti pahalanya pun kurang, berbeda dengan orang yang menuliskannya secara lengkap.

As-Suyuthi
As-Suyuthi berkata dalam kitabnya Tadribur Rawi fi Syarhi Taqrib An-Nawawi, mengatakan, “Dibenci menyingkat shalawat dan salam dalam penulisan, baik dengan satu atau dua huruf seperti menulisnya dengan slm3, bahkan semestinya ditulis secara lengkap.”

Inilah wasiat saya kepada setiap muslim dan pembaca juga penulis, agar mereka mencari yang utama atau afdhal, mencari yang di dalamnya ada tambahan pahala dan ganjaran, serta menjauhi perkara yang dapat membatalkan atau menguranginya.”

(Diringkas dari fatwa Asy-Syaikh Ibn Baz yang dimuat dalam Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, 2/396-399)

Sumber: Majalah Asy Syari’ah, Vol. III/No. 36/1428 H/2007, Kategori Fatawa Al-Mar’ah Al-Muslimah, Hal. 89-91.

Sumber rujukan:
http://bakkah.net/interactive/q&a/aawa004.htm
http://bakkah.net/articles/SAWS.htm
http://fatwa-online.com/fataawa/miscellaneous/enjoiningthegood/0020919.htm
http://rosyidi.com/fatwa-larangan-penyingkatan-salam-dan-shalawat/

Kesimpulan:
Kita tidak boleh menyingkat salam dengan cara apapun, misalnya "assalaamu'alaykum wr.Wb.", menyingkat sholawat seperti SAW atau menyingkat lafadz dengan SWT. Alasannya seperti yang telah dijelaskan oleh ulama-ulama diatas karena didalamnya ada bentuk do'a dan pengagungan kepada Allah yang telah disyari'atkan, Misal ada orang menyingkat "Allah SWT" berarti dia telah menyelisihi bentuk pengagungan yang telah di syari'atkan, hendaknya dia menulis "Allah Subhanallahu wa ta'ala". Ada juga yang menuliskan ALLAH dengan huruf "4JJ1", tidak boleh kita menulis seperti ini karena "4JJ1" telah diselewengkan maknanya menjadi "For Judas Jesus Isa Al-Masih". Maha suci Allah dari ucapan seperti ini.

Firman Allah subhannallahuwa ta'ala (yang artinya):
"Dan apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungkan segala sesuatu." (An Nisaa': 86).

Berikut ucapan salam dan keutamaannya yang telah dicontohkan oleh
Rasulullah shallallahu 'alaihi wassalam:


“Telah datang seorang lelaki kepada Nabi shallallahu 'alaihi wassalam dan berkata, ‘Assalamualaikum’. Maka Rasulullah menjawab salam kemudian dia duduk. Maka Rasulullah berkata sepuluh pahala kemudian datang yang lain memberi salam dengan berkata ‘Assalamualaikum warahmatullah’, lalu Rasulullah menjawab salam tadi, dan berkata dua puluh pahala. Kemudian datang yang ketiga terus berkata ‘Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh’. Rasulullah pun menjawab salam tadi dan terus duduk, maka Rasulullah berkata tiga puluh pahala. (Hadits Hasan :Riwayat Abu Daud Tarmizi)

Semoga bermanfaat, Wallahu Ta'ala a'lam

...Mendulang Pahala di Pagi Buta...

Di pagi buta, seseorang terkadang mendapatkan “basah” pada sarung atau pakaiannya sehingga ada diantara kita merasa pusing, apa yang harus dilakukan? Ada diantara kita yang tidak paham kalau dirinya harus mandi saat itu agar ia dapat “Mendulang Pahala di Pagi Buta”.
Seorang manusia yang sempurna, mesti mengalami perkara-perkara yang mengharuskan dirinya untuk “mandi wajib”, yaitu mandi janabah atau junub. Dari sisi lain, ada sebagian kaum muslimin yang tidak mengetahui mandi wajib. Sehingga ada diantara mereka sudah dewasa belum tahu caranya. Ada juga yang sudah beranak-pinak, bahkan sudah hampir masuk ke liang lahat, namun belum tahu mandi junub. Ada lagi diantara mereka yang nanti mau tahu dan belajar tentang hal tersebut ketika diambang pintu nikah. Tapi ini masih mending daripada yang sebelumnya.
Oleh karena itu, setiap muslim harus mengilmuinya, sebab itu adalah amanah dari Allah atas para hamba-hanba-Nya yang muslim.
Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan-hafizhohullah- berkata dalam Al-MulakhkhosAl-Fiqhiy (hal 58), “Bersuci dari hadats besar merupakan salah satu amanah diantara amanah-amanah antara hamba dengan Rabbnya wajib baginya untuk menjaganya, memperhatikan hukumnya, agar ia mampu melaksanakannya berdasarkan cara yang disyariatkan. sesuatu yang bermasalah baginya diantara hukumnya dan konsekuensinya, maka dia ditanyakan. Janganlah perasaan malu menghalangi dirinya dari hal itu, karena Allah tidak malu dari kebenaran. Jadi, malu yang menghalangi bagi pemiliknya dari bertanya tentang urusan agamanya merupakan malu yang tercela. Itu sebenarnya sifat pengecut dari setan agar dia bisa merintangi manusia untuk menyempurnakan agamanya, dan mengenal hukum-hukum yang wajib baginya. Perkara bersuci merupakan perkara yang amat agung dan dia amat penting, karena terakibatkan sahnya sholat yang merupakan tiang agama”.
Beberapa Perkara yang Mengharuskan Mandi Junub
Perkara-perkara yang mengharuskan seseorang mandi junub alias mandi wajib telah dijelaskan oleh para ulama kita dalam kitab-kitab mereka. Seorang muslim harus mengetahui perkara-perkara yang mengharuskan dan menyebabkan seseorang mandi junub, karena boleh jadi ia akan mengalaminya, atau orang lain sehingga ia pun bisa mengamalkan sunnah Nabi -Shollallahu alaihi wa sallam- dalam hal in, dan menuntun sesamanya. Diantara perkara-perkara yang mengharuskan kita mandi junub alias mandi wajib:
  •  
    • Keluarnya Mani Ketika Tidur atau Sadar
Jika seseorang usai tidur, lalu ia mendapatkan air mani pada pakaiannya atau pada dirinya, maka ia harus melakukan mandi junub, sekalipun ia tidak merasakan kelezatan syahwat. Ummu Salamah -radhiyallahu ‘anhu- pernah bertanya kepada Nabi -Shollallahu alaihi wa sallam-, “Wahai Rasulullah, Sesungguhnya Allah tak malu karena kebenaran. Apakah wajib bagi seorang wanita untuk mandi junub, bila ia mimpi basah?” Beliau bersabda,
نعم إذا رأت الماء
“Ya, (harus mandi) jika ia melihat (mendapatkan) air mani”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (130), Muslim dalam Shohih-nya (313), dan At-Tirmidziy dalam As-Sunan (122)]
Adapun jika dalam kondisi terjaga (tak tidur), maka dipersyaratkan adanya kelezatan syahwat yang dirasakan oleh seseorang, entah karena berjimak, bermain onani (suatu perbuatan haram, seorang mengeluarkan mani dengan menyentuh kemaluannya sampai mengeluarkan mani), atau karena sebab lain yang menyebakan syahwatnya memuncak, dan dirinya mengeluarkan mani.
Nabi -Shollallahu alaihi wa sallam- bersabda,
إذا حذفت الماء فاغتسل من الجنابة. فإذا لم تكن حاذفا فلا تغتسل
“Jika engkau menyemburkan (memancarkan) air mani, maka mandi junublah. Jika tidak menyemburkannya, maka jangan mandi”. [HR. Ahmad dalam Al-Musnad (1/107/no.847), dan dikuatkan oleh Al-Albaniy dalam Irwa’ Al-Gholil (1/162)]
Asy-Syaukaniy -rahimahullah- berkata dalam Nail Al-Author (1/275) ketika mengomentari hadits ini, “Menyemburkan adalah memancarkan. Ini tidak akan terjadi seperti, kecuali dengan syahwat. Oleh karena ini, Penulis berkata, “Dalam hadits ini terdapat peringatan bahwa sesuatu yang keluar, tanpa syahwat, entah karena sakit, atau dingin, maka hal itu tidak mengharuskan mandi”.”.
Seorang mimpi berjimak, namun saat terbangun ia tak mendapatkan air mani pada dirinya, maka tak wajib mandi. Nabi -Shollallahu alaihi wa sallam- pernah ditanya tentang hal tersebut, maka beliau -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda, “Tak (kewajiban) mandi atasnya”. [HR. Abu Dawud dalam As-Sunan (233), dan At-Tirmidziy dalam As-Sunan (113). Di-shohih-kan Al-Albaniy dalam Shohih Sunan Abi Dawud (233)]
  •  
    • Berjimak Walaupun tidak Mengeluarkan Mani
Jika seseorang berjimak dengan istrinya (maksudnya, ia memasukkan kemaluannya pada lubang peranakan istrinya), namun ia atau istrinya tidak mengeluarkan mani, maka dalam kondisi seperti ini seseorang harus mandi, walaupun ia tak mengeluarkan mani. Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
إذا جلس بين شعبها الأربع ثم جهدها فقد وجب عليه الغسل وإن لم ينزل  
“Jika ia (suami) telah duduk diantara empat anggota tubuhnya (yaitu, kedua tangan, dan kedua kaki,pen), lalu ia menggaulinya, maka wajib baginya mandi, sekalipun ia tidak mengeluarkan mani” [HR. Muslim dalam Shohih -nya (354)]
  •  
    • Islamnya Seorang Kafir
Jika seorang masuk ke dalam Islam, maka diwajibkan bagi dirinya untuk mandi wajib sebagaimana yang dijelaskan dalam beberapa hadits dari Nabi -Shollallahu alaihi wa sallam- . Ini perlu diketahui karena terkadang seorang kafir masuk ke dalam Islam, namun tak ada seorang muslim pun yang tahu kalau mandi bagi si kafir tersebut wajib baginya saat ia sudah usai ber-syahadat. Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- ,
عن قيس بن عاصم أنه أسلم فأمره النبي صلى الله عليه وسلم أن يغتسل بماء وسدر  
“Dari Qois bin ‘Ashim bahwa ia telah masuk Islam, lalu ia diperintahkan oleh Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- untuk mandi dengan air dan daun bidara”. [HR. Abu Dawud (351), At-Tirmidziy (602), dan An-Nasa’iy (1/109), dan di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Al-Irwa’ (128)]
  •  
    • Terputusnya Haidh, dan Darah Nifas
Seorang wanita yang usai mengalami haidh, dan masa nifas dengan terhentinya darah yang keluar darinya, maka ia diwajibkan mandi junub agar ia selanjutnya bisa melaksanakan sholat, dan berhubungan dengan suaminya. Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
فإذا أقبلت الحيضة فدعي الصلاة وإذا أدبرت فاغسلي عنك الدم وصلي
“Jika masa haidh datang, maka tinggalkan sholat. Jika telah pergi (usai), maka cucilah darah yang ada pada dirimu, dan sholatlah”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (320), dan Muslim dalam Shohih-nya (333)]
Sunnah Rasulullah ketika mandi junub
Bila seseorang ingin dapat mendulang pahala di pagi buta saat dia mandi junub, maka hendaknya dia mengikuti sunnah Nabi -Shollallahu alaihi wa sallam- pada saat itu.
Abu Muhammad Ibnu Qudamah Al-Maqdisiy-rahimahullah- berkata, “mandi junub memiliki bentuk-bentuk yang mencukupi dan bentuk sempurna. Yang disebutkan Al Khiroqi disini adalah bentuk yang sempurna, sebagian shahabat kami berkata, bentuk yang sempurna datang (disebutkan) di dalamnya sepuluh perkara: niat, membaca bismillah, mencuci kedua tangan dua kali, mencuci sesuatu yang terkena gangguan (mani), berwudhu, menciduk air (dengan telapak) keatas kepala sebanyak dua kali sehinnga bisa membasahi pangkal rambut, mengalirkan air keseluruh badan, memulai dengan bagian kanan badan. Menggosok badan dengan tangan, berpindah dari tempat mandinya, lalu mencuci kaki, dan dianjurkan untuk menyela-nyelai pangkal rambut kepala, dan jenggotnya dengan air sebelum mengalirkan air ke badan”. [Lihat Al-Mughni (1/287)].
Sepuluh perkara yang disebutkan para ulama tadi merupakan inti sari faedah yang terambil dari hadits-hadits berikut:
A’isyah –radhiyallahu ta’ala anha- berkata,
إذا اغتسل من الجنابة يبدأ فيغسل يديه ثم يفرغ بيمينه على شماله فيغسل فرجه ثم يتوضأ وضوءه للصلاة ثم يأخذ الماء فيدخل أصابعه في أصول الشعر حتى إذا رأى أن قد استبرأ حفن على رأسه ثلاث حفنات ثم أفاض على سائر جسده ثم غسل رجليه
“ Dulu Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- apabila mandi junub, maka beliau mulai dengan mencuci kedua tangannya, lalu beliau tuang air ketangan kirinya dengan tangan kanannya seraya mencuci kemaluannya. Kemudian, dia berwudhu seperti ketika ia mau sholat, lalu mengambil air seraya memasukkan tangannya ke pangkal rambutnya. Setelah itu, dia menciduk air ke atas kepalanya sebanyak tiga kali cidukan, lalu dia mengalirkan air keseluruh tubuhnya, berikutnya ia mencuci kedua kakinya”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (), dan Muslim dalam Shohih-nya (316)]
عن بن عباس عن ميمونة أن النبي صلى الله عليه وسلم اغتسل من الجنابة فغسل فرجه بيده ثم دلك بها الحائط ثم غسلها ثم توضأ وضوءه للصلاة فلما فرغ من غسله غسل رجليه
“Dari Maimunah, ia berkata, bahwa Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- pernah mandi junub, lalu ia mencuci kemaluannya dengan tangannya. Kemudian ia menggosokkan tangannya ke dinding, lalu mencucinya, dan berwudhu’ sepertinya ketika mau sholat. Tatkala usai mandi, maka beliau mencuci kedua kakinya”. [HR. Al-Bukhoriy dan Muslim]

Sumber : Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 14 Tahun I. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas.
 
Copyright (c) 2010 Cahaya iLmu. Design by WPThemes Expert
Themes By Buy My Themes And Cheap Conveyancing.